Televisi mulai kebablasan. Media online juga. Semua tak henti memberitakan meninggalnya ustad Jefry Al Buchori atau yang akrab dipanggil Uje. Hampir semua chanel televisi memberitakannya siang malam, termasuk televisi berita yang biasanya “intelek”.
Saking kebablasannya bahkan soal firasat kematian Uje
pun diberitakan. Dimana disebutkan ibunda Uje berfirasat Uje sudah
pamitan dengan pemberian uang Rp.500 ribu dst. Apa media tak tahu bahwa
firasat bukan fakta dan secara etika tak boleh diberitakan?
Yang juga tak enak hati melihatnya adalah, saat jurnalis
mewawancarai ibu dan keluarga korban (Uje). Apa tidak sungkan menanyai
aneka rupa saat orang lagi berduka. Mbok ya dikasih waktu orang lagi
berduka untuk mengambil nafas gitu loh.
Lagian mengapa pula memberitakan kedukaan
berpanjang-panjang, segala segi dibahas, dari firasat, pemberian uang
Rp500 ribu, honor pertama Uje dakwah sebesar Rp35 ribu, dst selama
berjam-jam dalam tiga hari siang malam. Dan entah kapan kehebohan ini
berakhir.
Kedukaan itu pahit. Kepahitan itu begitu sulit ditelan
oleh jiwa di masa-masa awal kematian orang yang dicintai. Istri Uje saja
sampai dua kali pingsan. Apa tak lebih baik keluarga korban dibiarkan
hening dari hingar pemberitaan dan buruan jurnalis.
Ah, semoga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyikapi
eksploitasi kesedihan di media demikian dengan baik. Semoga media pun
introspeksi diri, terutama dalam menerapkan standar etika yang ketat.
Publik seperti saya perlu juga asupan berita yang lain.
Banyak ketimpangan sosial, mafia hukum, jual beli jabatan, infrastruktur
yang terbengkalai dst. Semua butuh porsi pemberitaan.
Uje sudah menuntaskan pengabdiannya di dunia dan insya
Allah sudah tenang di alam kubur. Media, sudahlah, hentikan eksploitasi
duka demikian.
(SP)
Sumber : http://media.kompasiana.com
kesannya media mencari "untung" di balik wafatnya Uje. soalnya masyarakat kan lagi nyari berita tentang beliau, jadinya dimanfaatin deh sama media untuk menarik penonton.. huh..
BalasHapus