Sebuah artikel yang cukup menarik ditulis oleh seorang pengagum Adolf
Hitler. Penulis mengaku sangat tertarik dengan dunia intelijen dan
pernah atau masih sedang mencoba menembus lembaga intelijen di
Indonesia. Seorang muda yang kreatif dan berhasil mendapatkan coretan
bocoran analisa intelijen berkat kecerdikannya.
Saya rasa cukup adil untuk
mempercayai pengakuannya telah berhasil memperoleh sejumlah tulisan
analisa intelijen dari kantor BIN. Mengapa saya percaya? tidak lain
karena saya tahu persis kelemahan BIN yang bisa diibaratkan gudang
analisa yang sangat rahasia namun dipelihara bagaikan tempat sampah.
Dokumen berserakan tanpa ada prosedur penghancuran atau penyimpanan yang
memadai, anggota-anggotanya yang oleh penulis (Abwehrmeister)
disebut sebagai punggawa pejaten pada umumnya sudah melupakan prinsip
internal security dan cenderung semborono. Kondisi inilah yang
memudahkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan
kelemahan tersebut untuk tujuan yang macam-macam.
Saya jadi ingat perbincangan dengan mantan Kepala BAKIN (KABAKIN)
almarhum Letjen (purn) Z.A. Maulani ketika beliau masih bertugas di
kantor Sekretariat Wakil Presiden. Menurut beliau laporan BAKIN seperti
garbage in garbage out. Menyedihkan sekali bukan?
Isi sebuah laporan intelijen barangkali biasa saja dan bersifat rutin,
tetapi karena ia dibuat oleh lembaga intelijen maka tidak selayaknya
diperlakukan seperti kertas bungkus pisang gorang.
Tentu perspektif di atas tidak bersifat general, karena masih ada
junior-junior saya yang sekarang naik dalam level eselon 1 dan 2 yang
benar-benar menjaga prinsip internal security dan berhasil menjalankan
tugas dengan begitu baiknya. Untuk figur-figur yang tegas dan punya
komitmen tinggi dalam tugas maka tidak ada celah bagi kesembronoan. Dari
sisi unsur militer juga demikian ada yang sangat profesional dan ada
yang sembrono. Mudah membedakannya unsur militer yang masuk BIN hanya
ada dua macam, pertama adalah mereka yang sangat dibutuhkan karena
kemampuannya dan kedua adalah mereka yang mengemis segala cara kepada
Kepala BIN agar diberikan jabatan karena di militer karirnya tamat.
Kebobrokan organisasi BIN maupun BAIS inilah yang melahirkan seorang
Senopati Wirang yang harus menanggung MALU menuliskan BLOG I-I
berdasarkan pada pengalaman pahit bertahun-tahun. Pernah saya menulis
surat kaleng kepada Presiden Suharto...hasilnya malah pembersihan
organisasi dan ancaman-ancaman. Memang saya bukan Ksatria yang
terang-terangan menantang sistem, tetapi apalah artinya perjuangan satu
suara yang lemah ini. Saya sudah menyaksikan banyak korban berjatuhan
bahkan seorang sahabat ada yang sampai di Penjara dan seorang Jenderal
Yoga Soegama hanya sempat minta maaf di depan mayatnya setelah sahabat
saya sakit sekian lama. Setidaknya sejak saya bergabung dengan Intelijen
Tempur, Intelijen Strategis dan Intelijen Sipil dan sampai masa akhir
hidup saya ini belum ada yang menyadari siapa saya.
Ah pengantarnya jadi terlalu banyak, habis saya kesal dengan sistem
pengamanan yang amat sangat buruk di institusi intelijen Indonesia.
Silahkan disimak artikel dari seseorang yang sangat memimpikan dirinya menjadi seorang agen intelijen.
------------------------------------------------------------------------------------------------
GRAND DESIGN AMERIKA SERIKAT TERHADAP PAPUA
oleh: ABWEHRMEISTER
Menarik kita amati perkembangan kasus Papua, yang diawali dari kasus
Abepura (yang menuntut ditinjau ulangnya kontrak karya antara
PT.Freeport Indonesia dan pemerintah RI) dan kasus pemberian visa
tinggal sementara oleh Australia bagi puluhan orang aktivis Papua
Merdeka yang menyatakan adanya genocide di Papua. Mari kita coba
mengamati secara lebih seksama kedua kasus tersebut.
1. Tuntutan peninjauan ulang kontrak karya antara pemerintah RI dan PT.Freeport Indonesia.
Hal ini mulai mendapat perhatian publik setelah terjadi demo
besar-besaran oleh sebagian besar unsur masyarakat Papua (baik di Papua
maupun di Jakarta) yang menelan korban dari aparat dan dari masyarakat.
Mereka menuntut di tinjau ulangnya kontrak karya pengolahan Sumber Daya
Alam yang dilakukan PT.Freeport Indonesia, sebuah perusahaan Amerika
Serikat. Tuntutan ini dikarenakan selama ini PT.Freeport Indonesia
dinilai lalai dalam menangani masalah lingkungan hidup dan PT.Freeport
Indonesia dirasa tidak memberi dampak positif secara signifikan kepada
masyarakat asli Papua. Hal ini diperkuat oleh adanya laporan dari
Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia yang menyatakan bahwa (pada
intinya) telah terjadi degradasi/penurunan kualitas lingkungan hidup di
Papua, yang apabila dibiarkan terus menerus akan sangat merugikan
Indonesia. Beberapa tokoh politisi dan parlemen Indonesia belakangan
angkat bicara dan mengakomodir keinginan masyarakat Papua melalui
parlemen. DPR mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kontrak karyanya
dengan PT.Freeport Indonesia. Hanya sayang sikap DPR ini hanya melalui
pernyataan-pernyataan tokohnya secara parsial, bukan sikap resmi DPR
secara institusional sebagai lembaga parlemen Indonesia. Tanpa perlu
menjadi seorang expert, kita bisa melihat adanya gangguan terhadap
kepentingan Amerika Serikat di Indonesia. Bisa dibayangkan berapa besar
kerugian yang dialami PT.Freeport Indonesia (baca: Amerika Serikat)
apabila peninjauan ulang kontrak karya tersebut benar-benar terjadi.
Sebenarnya peninjauan ulang kontrak kerja sama merupakan HAK Indonesia
sebagai negara yang berdaulat penuh atas Papua. Ditinjau dari segi hukum
(tentunya hukum Indonesia), pembaruan suatu perjanjian dimungkinkan
untuk dilakukan sebelum habis masa berlaku perjanjian tersebut apabila
ada hal-hal yang secara prinsipil melanggar UU. Ketentuan ini bisa kita
lihat dari pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (BW)
yang menyatakan sebagai berikut :”semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu
perjanjian tidak dapat dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang
dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilakukan dengan
itikad baik.”
Dari uraian pasal tersebut diatas nampak jelas bahwa suatu perikatan
hukum (baca: perjanjian) dapat ditarik kembali (atau diperbarui) apabila
mendapat kesepakatan dari kedua belah pihak dan atau pelanggaran
terhadap UU yang berlaku. Dalam hal ini UU No.23 Tahun 1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Posisi pemerintah dalam hal ini sebenarnya
sangat kuat baik secara de facto maupun secara de jure. Pemerintah
tidak perlu takut terhadap pencitraan buruk Indonesia di luar negeri.
Saya yakin banyak putera-puteri Indonesia yang ahli dalam bidang
komunikasi dan pencitraan diri. Masih banyak investor asing lain yang
mau menanamkan modalnya di Papua. Dalam kasus ini PT.Freeport Indonesia
(baca:Amerika Serikat) jelas-jelas merasa terancam dan merasa terusik
posisinya di Indonesia. Logikanya, pasti mereka akan memberikan reaksi
yang kita tidak tahu entah apa. Melihat arah kebijakan luar negeri AS
yang kental nuansa kapitalisme (baca: kolonialisme) yang dilatar
belakangi sumber daya alam (Irak, Blok Cepu, Amerika Latin),bisa
dipastikan mereka akan mempertahankan kepentingannya dengan segala cara.
Pengalaman kita pada masa pemerintahan Soekarno, dimana AS berencana
untuk menduduki Indonesia melalui skenarionya membumi hanguskan CALTEX
di Riau untuk kemudian mendarat dan menguasai Indonesia. Kejadian itu
pada masa pemberontakan PRRI-PERMESTA pada zaman pemerintahan Soekarno.
Saya merasa bersyukur skenario tersebut gagal total dan akhirnya
mencoreng muka AS. Bukan tidak mungkin AS akan mempertahankan
kepentingannya dengan cara-cara yang sama atau sama sekali baru yang
tidak kita duga sebelumnya. Kita harus dapat mengantisipasi
potensi-potensi ancaman dimasa datang. Untuk tujuan itulah tulisan ini
saya buat.
2. Kasus pemberian visa tinggal sementara oleh Australia terhadap aktivis separatisme Papua.
Kasus ini membuat hubungan bilateral Indonesia – Australia kembali
memanas. Indonesia menarik kembali dubesnya, sementara dubes Australia
dipanggil Menlu RI untuk menjelaskan sikap pemerintahan Australia. Untuk
yang kesekian kalinya hubungan Indonesia – Australia menegang. Masih
segar dalam benak rakyat Indonesia bagaimana peran aktif Australia dalam
kasus lepasnya Timor-Timur dari pangkuan ibu pertiwi. Belakangan
diketahui bahwa motif utama Australia dalam mensponsori kemerdekaan
Timor-timur adalah celah timor yang ditengarai kaya akan minyak. Sobat
kental AS ini nampaknya telah belajar banyak dari sohibnya itu.
Pemberian suaka dan visa tinggal tersebut jelas-jelas tidak mencerminkan
sikap dukungan Australia terhadap kedaulatan wilayah NKRI, seperti yang
selama ini berulang kali mereka utarakan kepada berbagai media dunia.
Sikap mereka ini menunjukkan bahwa mereka memberi dukungan kepada
elemen-elemen separatisme di Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari
adanya dukungan berupa moril dan materiil dari berbagai parpol Australia
terhadap pihak separatis Papua (sebagaimana tercantum dalam temuan data
dan fakta yang dibawa oleh tim parlemen Indonesia yang akan sowan ke
Australia). Terlebih lagi kita memiliki pengalaman pahit pada masa lalu
dalam kasus lepas nya Timor-Timur dari NKRI. Apakah kita akan jatuh
dalam lubang yang sama untuk yang kedua kalinya? Saya yakin bahwa ini
adalah suatu skenario yang disusun bersama antara Australia dan AS
dengan tujuan untuk mengambil alih sumber daya alam yang terdapat di
Papua. Indikasinya adalah Australia begitu mengekspos penindasan yang
dialami oleh para aktivis separatisme Papua (versi mereka tentunya).
Bahkan mereka menuduh telah terjadi genocide di bumi Papua. Ini adalah
suatu tuduhan serius yang tidak berdasar. Serius karena istilah genocide
merupakan salah satu pelanggaran HAM berat, setara dengan yang
dilakukan oleh NAZI Jerman. Tidak berdasar karena tuduhan tersebut tanpa
disertai data, fakta dan bukti yang kuat dan meyakinkan. Ini adalah
bagian dari skenario panjang AS dan Australia untuk merebut sumber daya
alam Indonesia. Selama ini Amerika dikenal sebagai agresor yang
mengabaikan norma-norma apapun dalam menjaga kepentingannya diberbagai
penjuru dunia. Tidak perlu legitimasi, tidak perlu ada bukti yang kuat,
dan sering kali mengabaikan PBB.
3. Alternatif penyelesaian masalah.
Berkali-kali Australia menginjak-injak harga diri dan martabat bangsa
Indonesia. Penangkapan nelayan Indonesia, pelanggaran kedaulatan
Indonesia di udara oleh AU Australia (boleh tanyakan pada
saudara-saudara kita di AURI), lepasnya Tim-tim dari NKRI, pemasangan
instalasi rudal yang dapat menjangkau wilayah NKRI, dan sekarang
dukungan secara terang-terangan terhadap elemen separatisme Papua (pihak
parlemen Indonesia dan kalangan intelijen pasti tahu lebih banyak).
Kita semua pasti mahfum bahwa kita tidak bisa berharap banyak dari PBB.
Sudah banyak kejadian yang menunjukkan bahwa PBB tidak memihak kepada
rasa keadilan masyarakat internasional dan didalam tubuh PBB sendiri ada
perbedaan perlakuan terhadap negara-negara anggotanya. Masih adanya hak
veto bagi beberapa negara menunjukkan hal ini. Padahal hak veto
tersebut sangat tidak relevan dan sangat mencederai asas persamaan
kedudukan negara-negara yang berdaulat di dunia. Tidak akan pernah
tercapai susunan dunia yang adil, merata dan sejahtera bila PBB (sebagai
organisasi internasional yang utama) masih tidak berubah. Sikap
Indonesia yang menarik kembali duta besarnya di Australia mencerminkan
adanya perhatian yang serius dari pemerintah RI. Kita harus menata ulang
kembali hubungan bilateral kita dengan Australia. Saya menyarankan
beberapa alternatif penyelesaian disini, yaitu :
§ Secara eksternal
- Melakukan komunikasi bilateral dengan Australia melalui saluran
diplomatik secara lebih intensif dan komprehensif dalam konteks Papua
- Mencari dukungan dalam berbagai forum internasional terhadap keutuhan
kedaulatan wilayah NKRI (negara-negara Asia-Afrika, ASEAN, PBB,dll)
- Memberikan penjelasan kepada masyarakat internasional bahwa apa yang
terjadi di Papua adalah murni masalah intern dalam negeri Indonesia,
bahwa tidak ada peristiwa pelanggaran HAM berat (genocide) yang terjadi
di bumi Papua seperti yang dituduhkan para aktivis separatisme Papua,
bahwa apa yang dilakukan Australia adalah bentuk sikap bermusuhan dan
melegalisasi tuduhan pelanggaran HAM berat di Indonesia, bahwa sikap
Australia tersebut merupakan suatu bentuk ancaman terhadap kedaulatan
sah suatu negara yang dapat menimpa negara mana saja di dunia dan
merupakan preseden buruk dimasa datang.
§ Secara internal
- Melakukan pengusutan tuntas terhadap kasus kerusuhan Abepura, Papua.
- Merangkul semua elemen masyarakat Papua untuk bersama-sama mencari
solusi yang terbaik bagi bangsa dan negara RI (hal ini lebih sulit dalam
hal implementasi di lapangan).
- Mencari bukti keterlibatan asing dalam kasus Papua.
- Para pemimpin bangsa ini agar tidak serta merta mengeluarkan
pernyataan yang bersifat tuduhan yang menyudutkan saudara sebangsa
sendiri (politisasi). Akan lebih baik jika kita memfokuskan perhatian
dan stamina kita untuk mengantisipasi ancaman dari luar. Kasus ini
adalah murni masalah harga diri dan martabat Indonesia, tidak perlu kita
larut dalam kepentingan politik sesaat.
- Melakukan pemberdayaan intelijen nasional baik secara kualitas maupun
kuantitas. Hal ini sangat penting artinya untuk menangkal
ancaman-ancaman baik dari dalam maupun dari luar. Sebagai contoh,
pembentukan aturan hukum yang jelas bagi kalangan intelijen nasional
lebih urgent ketimbang RUU APP misalnya.
Akhir kata, semoga tulisan ini dapat, paling tidak, menimbulkan
kesadaran berbangsa dan semoga dalam tataran lebih luas dapat memberikan
alternatif wawasan dalam menanggapi sikap Australia. Semoga Tuhan YME
melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Amin !!
sumber : http://jogora.blogspot.com/2010/09/papua-indonesia-freeport-adalah-proses.html