Muda, cantik, dan molek. Dengan penampilan sememikat itu dan ditunjang
tubuh ramping, ia lebih pantas menjadi seorang model. Berlenggak-lenggok
di atas panggung ketimbang memanggul senjata di medan tempur.
Omer Goldman, 18 tahun, memang bukan seorang model. Ia adalah salah satu pelajar kelas tiga SMA yang menolak ikut wajib militer. Bersama 40 rekannya dari organisasi Anarki Anti Tembok Pemisah, ia pernah membagikan selebaran menentang penjajahan Israel terhadap Tepi Barat dan Jalur Gaza di gerbang sekolah.
Empat tahun lalu, ia bersama 40 teman sekolahnya mengirim surat protes kepada Perdana Menteri Israel Ehud Olmert yang bakal mundur secara resmi setelah pemilu 10 Februari tahun depan, seperti dilansir surat kabar Haaretz. Surat protes pertama dikirimkan pelajar terjadi pada 1970 kepada Perdana Menteri Golda Meir.
Sikapnya bukan hal baru dan asing di negara Zionis itu. Sudah banyak generasi muda Israel menolak aturan itu. Mereka berpandangan wajib militer hanya makin menambah kebencian dan serangan teror oleh warga Palestina. Militer Israel mencatat, tahun ini saja sekitar 58 persen usia wajib militer membangkang dan tidak mendaftar.
Sebagai negara hidup di pusaran konflik selama 60 tahun, Israel menerapkan wajib militer. Beleid ini mengharuskan lelaki dan perempuan berusia minimal 18 tahun ikut aturan itu. Bagi pria, wajib militer berlangsung tiga tahun, sedangkan perempuan dua tahun.
Namun keputusan Omer itu sungguh mengejutkan dan menarik perhatian publik. Maklum saja, ia adalah putri mantan wakil direktur Mossad (dinas rahasia luar negeri Israel). Ayahnya dikenal dengan nama N adalah spesialis Iran. Ia berhenti pada Juni tahun lalu karena bertengkar dengan atasannya, Meir Dagan. Keluarganya hidup berkecukupan di kawasan elite Ramat Hasharon, Tel Aviv.
Omer hidup dengan kawalan ketat aparat intelijen dan militer, pihak yang kini ia benci. Tapi ia sadar risiko akan ia hadapi. Penjara paling lama sembilan bulan dan diasingkan oleh masyarakat membenci dia karena dianggap tidak cinta tanah air. Karena itu, beberapa bulan sebelum memutuskan menolak, saban pekan ia pergi ke ahli jiwa untuk mempersiapkan hidup di tahanan militer.
Hari itu pun datang pada 23 September lalu. Ia menolak. Pengadilan militer lantas memenjarakan dia tiga pekan. Selepas itu, pengadilan digelar kembali. Semua berlangsung hingga salah satu pihak menyerah. Namun, ia bersikap tegas meski ayahnya tidak mendukung. "Ia dan saya mempunyai karakter sangat mirip. Saya juga akan berjuang sampai akhir atas apa yang saya yakini," kata Omer.
Ia tidak sendirian. Bulan sebelumnya, pengadilan militer menghukum Sahar Vardi karena menolak mengikuti wajib militer. Perempuan 18 tahun ini adalah anggota Shminitism, gerakan pelajar kelas tiga SMA yang menolak kekejaman militer Israel terhadap rakyat Palestina. "Penjajahan itu kejam dan saya tidak akan membiarkan diri saya menjadi bagian dari kekejaman terhadap orang lain," Sahar menegaskan.
Rakyat Israel boleh saja memandang mereka sebagai pembelot. Yang pasti, para penolak wajib militer itu tidak mengkhianati prinsip kemanusiaan dan kemerdekaan.
Omer Goldman, 18 tahun, memang bukan seorang model. Ia adalah salah satu pelajar kelas tiga SMA yang menolak ikut wajib militer. Bersama 40 rekannya dari organisasi Anarki Anti Tembok Pemisah, ia pernah membagikan selebaran menentang penjajahan Israel terhadap Tepi Barat dan Jalur Gaza di gerbang sekolah.
Empat tahun lalu, ia bersama 40 teman sekolahnya mengirim surat protes kepada Perdana Menteri Israel Ehud Olmert yang bakal mundur secara resmi setelah pemilu 10 Februari tahun depan, seperti dilansir surat kabar Haaretz. Surat protes pertama dikirimkan pelajar terjadi pada 1970 kepada Perdana Menteri Golda Meir.
Sikapnya bukan hal baru dan asing di negara Zionis itu. Sudah banyak generasi muda Israel menolak aturan itu. Mereka berpandangan wajib militer hanya makin menambah kebencian dan serangan teror oleh warga Palestina. Militer Israel mencatat, tahun ini saja sekitar 58 persen usia wajib militer membangkang dan tidak mendaftar.
Sebagai negara hidup di pusaran konflik selama 60 tahun, Israel menerapkan wajib militer. Beleid ini mengharuskan lelaki dan perempuan berusia minimal 18 tahun ikut aturan itu. Bagi pria, wajib militer berlangsung tiga tahun, sedangkan perempuan dua tahun.
Namun keputusan Omer itu sungguh mengejutkan dan menarik perhatian publik. Maklum saja, ia adalah putri mantan wakil direktur Mossad (dinas rahasia luar negeri Israel). Ayahnya dikenal dengan nama N adalah spesialis Iran. Ia berhenti pada Juni tahun lalu karena bertengkar dengan atasannya, Meir Dagan. Keluarganya hidup berkecukupan di kawasan elite Ramat Hasharon, Tel Aviv.
Omer hidup dengan kawalan ketat aparat intelijen dan militer, pihak yang kini ia benci. Tapi ia sadar risiko akan ia hadapi. Penjara paling lama sembilan bulan dan diasingkan oleh masyarakat membenci dia karena dianggap tidak cinta tanah air. Karena itu, beberapa bulan sebelum memutuskan menolak, saban pekan ia pergi ke ahli jiwa untuk mempersiapkan hidup di tahanan militer.
Hari itu pun datang pada 23 September lalu. Ia menolak. Pengadilan militer lantas memenjarakan dia tiga pekan. Selepas itu, pengadilan digelar kembali. Semua berlangsung hingga salah satu pihak menyerah. Namun, ia bersikap tegas meski ayahnya tidak mendukung. "Ia dan saya mempunyai karakter sangat mirip. Saya juga akan berjuang sampai akhir atas apa yang saya yakini," kata Omer.
Ia tidak sendirian. Bulan sebelumnya, pengadilan militer menghukum Sahar Vardi karena menolak mengikuti wajib militer. Perempuan 18 tahun ini adalah anggota Shminitism, gerakan pelajar kelas tiga SMA yang menolak kekejaman militer Israel terhadap rakyat Palestina. "Penjajahan itu kejam dan saya tidak akan membiarkan diri saya menjadi bagian dari kekejaman terhadap orang lain," Sahar menegaskan.
Rakyat Israel boleh saja memandang mereka sebagai pembelot. Yang pasti, para penolak wajib militer itu tidak mengkhianati prinsip kemanusiaan dan kemerdekaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar