Kamis, 07 Februari 2013

Pengemis, Si Miskin yang Patut Dikasihani Atau Si Malas yang Kaya?



Bertemu dengan pengemis! Itu hal yang paling tidak saya sukai jika kebetulan harus ke mall atau took-toko sekitarnya di kota tempat tinggal saya. Kenapa? Karena selalu bikin saya serba salah : antara member uang atau tidak. Di tempat ini banyak sekali pengemis, dulu saya sampai menyediakan anggaran khusus dan menukar uang ribuan berlembar-lembar bika berniat hendak ke mall. Belakangan, saya jadi serba salah : haruskah member mereka uang atau dicuekin saja? Banyak teman yang asli orang sini atau sudah bertahun-tahun tinggal disini, melarang saya member uang pada pengemis di kawasan mall, jembatan penyeberangan dan lampu merah. Katanya jika kita member justru melestarikan “pekerjaan” mengemis dan memperkaya boss-nya semata. Tapi di sisi lain, hati kecil saya kerap iba melihat mereka.
Sampai sekali waktu ketika saya ada janji dengan pemilik sebuah catering yang lokasinya di dekat jembatan penyeberangan di seberang mall. Saya lihat salah seorang pengemis yang biasa mangkal di anak tangga jembatan – siapa saja yang mangkal di situ dan urutan posisinya selalu tetap – turun dari tempat “kedudukan”nya dan mendekati sebuah warung kelontong. Si pengemis dengan bebas mengambil rokok dan makanan, sementara seorang gadis yang menjaga warung itu cuek saja, sepertinya warung itu memang sudah langganan para pengemis yang mangkal di situ. Tidak tampak si pengemis berbelanja penuh kehati-hatian karena takut uangnya tak cukup. Dia enak saja mengambil apa yang dia suka, kemudian membayar dan nongkrong di bangku yang ada di warung kelontong. Kata teman saya, itu jam istirahatnya. Bagi mereka yang bertugas di lampu merah, makan siangnya akan dipasok oleh seseorang pada jam tertentu. Mau tak mau saya terpaksa percaya cerita ini, karena saya lihat sendiri bagaimana gayanya si pegemis berbelanja.
Anehnya, baskom plastik atau gelas bekas minuman kemasan yang mereka pakai untuk menadah uang belas kasihan dari pemakai jalan atau pengunjung mall, selalu hanya terisi beberapa recehan koin 500-an, 200-an, 100-an saja. Tak selembar pun ada ribuan, padahal saya yakin ada yang member ribuan, termasuk saya. Sekali waktu saya amati, setelah memberikan selembar ribuan, saya berlalu 2 langkah lalu kembali menolah. Ternyata si pengemis memungut uang yang saya berikan lalu memasukkan ke balik bajunya. Jadi orang yang melintas setelah saya kembali hanya akan melihat recehan tak seberapa.
Jumat kemarin, setelah selesai urusan saya di bank, saya bermaksud makan siang di mall sekitar 30 meter dari bank. Saya masuk dari pintu loby sebelah kanan mall.Seorang pengemis kurus dan wajah mengenaskan bersimpuh di sana. Saya mengulurkan selembar 2000-an dan dia langsung merebut uang itu dari tangan saya, kemudian memasukkannya ke balik bajunya. Sejam kemudian, saya keluar dari mall dan hendalk kembali ke kantor lewat pintu loby mall sebelah kiri. Ternyata si pengemis yang tadi sudah pindah tempat dan kembali ia menadahkan tangannya. Saya jawab : “Sudah kan tadi di sebelah sana?”. Dia langsung berpaling dari saya dan mencari sasaran berikutnya. Saya lirik baskom plastiknya, hanya ada 3 koin recehan, persis seperti kondisi sejam lalu saat dia masih di tempat yang berbeda.
———————————————
Beberapa waktu lalu pernah beredar BBM yang katanya dikutip dari berita di Pos Kota tentang riset sederhana yang dilakukan pada seorang pengemis di kawasan lampu merah tertentu di Jakarta. Tiap 1 menit lampu berganti merah – hijau. Tiap kali lampu merah setidaknya si pengemis mendapat uang 2000 rupiah. Jika sejam lampu merah menyala 30x, uang yang dikumpulkannya Rp. 60.000,-. Sehari ia bekerja 10 jam, artinya penghasilannya Rp. 600.000,-/hari. Karena ia tak mengenal libur week end, sebulan 30 hari kerja, total penghasilannya 18 juta sebulan! Ahaiii…, anda harus bekerja bertahun-tahun setelah menamatkan sarjana anda, berkompetisi mencapai posisi Manager, baru bisa mendapat penghasilan sebegitu banyaknya. Belum lagi resiko pekerjaan dan jabatan.
Entah BBM tersebut benar atau hoax belaka, yang jelas sekitar 1,5 tahun lalu saya membaca sebuah Koran online, Kaltim Pos kalo tidak salah, yang memberitakan razia pengemis di Samarinda. Seorang nenek tua yang punya beberapa cacat tubuh, meronta-ronta dan menangis sekerasnya sambil berusaha melepaskan diri dari pegangan Satpol PP. Menangkap nenek cacat ini justru paling sulit karena dia melawan. Menurut teman-temannya sesama pengemis, nenek itu memang pengemis “favorit” dan anak emas si boss. Setorannya sehari minimal 1,8 juta! Karena tubuhnya yang menderita beberapa cacat, pengemudi mobil sering iba padanya. Uang yang diberikan tak pernah uang kecil. Lembaran 10.000-an sampai 50.000-an kerap mampir ke baskomnya. Kalau si nenek cuma membawa pulang uang 1,8 juta, si boss marah dan menyebutnya malas, tak mau berusaha. Sebab, si nenek seringkali mendapat lebih dari itu. Pantas saja si nenek yang asal Madura itu rela merantau keluar pulau demi pendapatan yang jauh lebih baik.
Lain lagi pengalaman pembantu yang bekerja di rumah ibu kost saya di Surabaya dulu. Tiap pagi ibu kost saya jalan-jalan pagi bersama ibu-ibu komplek lainnya. Pulangnya,sekitar jam 7 pagi, beliau selalu diikuti seorang pengemis berkerudung. Ibu lalu memanggil pembantunya dan menyuruh Ningsih – sebut saja begitu –mengambil kembalian uang belanja 1000 rupiah untuk diberikan pada pengemis itu. Suatu pagi, Ningsih datang sambil mukanya ditekuk. Begitu masuk rumah ia langsung meminta majikannya tak lagi memberi sepeser pun uang pada si pengemis langganan. Usut punya usut, Ningsih – yang tiap sore pulang ke rumahnya, masih satu kelurahan dengan kami – semalam mengeluh pada kakaknya. Anak Ningsih akan ikut ujian dan harus melunasi semua uang sekolahnya. Karena tak punya uang cukup, Ningsih berniat pinjam uang pada kakaknya. Sayangnya, kali itu kakaknya juga lagi tongpes. Tapi demi kelanjutan pendidikan keponakannya, si kakak menyarankan Ningsih menemui seseorang yang bisa member pinjaman uang dengan jangka waktu tertentu dan berbunga. Ya, renternir begitulah! Kakaknya berjanji akan membantu membayar bunganya, Ningsih tinggal mengangsur pokok utangnya. Ningsih setuju saja. Jadilah mereka berdua pergi ke rumah si rentenir. 
Menunggu lama, Ningsih sempat mengagumi rumah si rentenir kaya yang katanya cukup besar dan perabotannya komplit. Ketika pemilik rumah keluar, betapa kagetnya Ningsih : dialah si pengemis berkerudung! Di rumah penampilannya lain : bajunya bagus, tanpa kerudung, kedua tangannya memakai gelang emas. Setelah hilang dari kagetnya, kontan Ningsih berdiri dan menyeret tangan kakanya, sambil berkata : “Oh, ini toh juragan kaya yang kerjaannya minjemin duit? Gak sudi aku pinjem duit dari pengemis yang nipu! Gini-gini aku masih punya harga diri!”. Nah lho! Entah jam berapa si pengemis berkerudung keluar dari rumahnya tiap pagi untuk memulai “operasi”nya. Saya sering melihat pengemis jenis ini berjalan bersama beberapa orang lalu menyebar saat tiba di perumahan. Dan biasanya pengemis jenis ini, yang berlagak sopan tutur katanya, selalu didahului dengan mengucap salam, tapi selalu memaksa. Mereka betah berdiri lama di depan pintu pagar rumah yang tertutup sambil terus mengucap salam, sampai penghuninya keluar. Meski seisi rumah sedang beraktivitas di bagian belakang rumah, pengemis nekad ini tetap saja mengguncang-guncangkan pintu pagar sampai pemilik rumah keluar, dengan uang tentu saja!
1324177554637303282
Dari semua cerita di atas, sebenarnya siapakah para pengemis di kota-kota besar? Benarkah mereka fakir miskin yang patut dikasihani dan karena itu perlu kita sisihkan uang bagi mereka, ataukah justru mereka pemalas yang mau kaya dengan cara mudah dan sedikit menipu, itu sebabnya tak perlu kita member uang padanya? Duh…, sulit menjawabnya. Kadang hati saya berperang ketika sinisme saya muncul dan tak mau memberikan uang, sisi lain hati saya mengingatkan : “Bagaimana kalo orang itu benar-benar mengemis karena terpaksa dan untuk sekedar bisa makan? Bagaimana kaloia pengemis “mandiri” yang tidak dikelola oleh seorang boss yang memberinya rumah tumpangan, dan ia sudah semalaman di jalanan karena tak ada yang memberinya uang?”
Umumnya pengemis hanya terdapat di kota. Semakin besar dan ramai suatu kota, makin banyak ditemui pengemis. Di kampung, pengemis hampir tidak ada. Semua orang bekerja, sesederhana apapun pekerjaannya – meski tak menghasilkan uang – setidaknya bisa untuk makan sehari-hari. Misalnya mencari ikan di hulu sungai sekedar untuk makan, menanam sayuran yang bisa dipetik untuk makan sekeluarga dan sisanya bisa jual ke pasar. Salah satu kerabat istri sepupu saya pekerjaannya cuma mencari tokek. Tiap malam ia mendapatkan 2-3 ekor tokek, disetorkan kepada pengepulyang katanya untuk dijadikan obat. Seekor tokek dihargai mulai 2000 rupiah tergantung besar kecilnya. Uang hasil penjualan tokek bisa dibelikan beras. Untuk lauknya cukup memetik sayur di halaman yang ditanam istrinya dan menangkap ikan di sungai bersama anaknya. Kalau sekedar hidup saja memang bisa, tapi ketika seseorang sudah mulai ingin membangun rumah, membeli kendaraan, maka tentu harus bekerja yang menghasilkan uang. Dan pekerjaan apa yang pasti menghasilkan uang tanpa melamar, tanpa harus menghasilkan sesuatu kalau bukan mengemis?
Tak usahlah dengan hitungan yang muluk-muluk. Jika seharian mengemis bisa mendapat 50 ribu saja, sebulan bisa 1,5 juta, sudah lebih tinggi dari UMK DKI 2011. Tidak perlu modal, tak ada resiko merugi, tak ada resiko di PHK atau habis kontrak tiap tahun. Selama daya tarik uang dari hasil mengemis masih lebih menggiurkan ketimbang menjadi buruh atau pembantu rumah tangga, berapa kali pun dilakukan razia,mereka akan kembali lagi. Pengemis di kota-kota besar macam Jakart dan Surabaya umumnya urban dari daerah yang jauh. Merantau dari kampung halaman hanya untuk jadi pengemis di kota, yang penting hasil yang dikirim ke kampung lumayan besar. Saya pernah melihat tayangan TV tentang suatu kampung yang hamper semua warganya mengemis ke berbagai kota. Tahukah anda seperti apa kampung itu? Wow,makmur! Rumah-rumah warganya mentereng dilengkapi perabotan komplit dan alat elektronik model terbaru. Semuanya dari hasil menjadi pengemis. Nah, masih lebih enak ketimbang jadi TKI dengan resiko mati babak belur dianiaya majikan kan? So…, sebenarnya pengemis itu si miskin yang memang perlu kita kasihani atau sim alas yang mau dapat duit banyak dengan usaha minimal? Hati kecil kita lah yang bisa menjawabnya.

Sumber: http://hajingfai.blogspot.com

1 komentar:

Entri Populer