Suku Kajang, salah satu suku tradisional, yang terletak di Sulawesi Selataan, tepatnya sekitar 200 km arah timur kota Makassar. Suku ini mempunyai ciri khas khusus dengan pakaian serba hitam, memakai sorban warna hitam, dan tanpa alas kaki, walau panas terik matahari, atau berjalan ke kota sekalipun.
Mereka memegang tradisi nenek moyang yang disebut dengan “pappasang”, semacam hukum tidak tertulis yang tidak boleh dilanggar. Siapa yang melanggar akan kena “pangellai”, teguran atau hukuman. Salah satu bunyi hukum yang ada dalam “pappasang” adalah “Kajang, tana kamase-masea”, yang artinya tidak jauh dengan, “Kajang tanah yang sederhana/miskin”.
Dengan adanya “pappasang” ini, sehingga orang-orang yang berdiam dalam kompleks adat suku kajang, tidak mau menerima yang namanya kemegahan dunia. Siapa yang mau kaya, harus keluar dari kompleks adat, karena tanah Kajang sendiri tidak menyiapkan kekeyaan itu, karena sudah disebutkan dalam “pappasang”.
Kemegahan dunia yang dimaksud berdasarkan interpretasi “amma toa” (Kepala Adat Suku Kajang) dan orang-orang suku kajang adalah menolak paham dari luar ataupun program-promgam pemerintah yang dianggap dapat mengancam keberadaan mereka, atau akan melanggar ”pappasang, Kajang tana kamase-masea”. Di kompleks adat Kajang, jangan anda mencari tempat untuk cash HP kalau baterai HP anda lagi low bet, karena di situ tidak tersedia listrik. Ketidakadaan listrik di dalam kompleks adat, bukan karena tidak tersentuh oleh program pemerintah, tetapi “amma toa” sendiri yang menolak di pasang listrik, karena dianggap akan melanggar “pappasang”, karena listrik di anggap sebuah kemewahan. Padahal keberadaan listrik di Kajang Luar sudah ada sejak tahun 1980-an. Perlu di ketahui, Kajang di bagi dua secara geografis, yaitu kajang dalam (suku kajang, mereka di sebut “tau Kajang”) dan kajang luar (orang-orang yang berdiam di sekitar suku kajang yang relatif lebih modern, mereka di sebut “tau Lembang”).
Bukan hanya listrik yang dilarang masuk di suku Kajang, tetapi segala sesuatu yang dianggap melanggar “pappasang, Kajang, tana kamase-masea”. Contoh lainnya adalah pembangunan jalan raya, kendaraan, sekolah, bahkan cara berpakain sekalipun. Memasuki kompleks adat, anda akan dilarang untuk memakai pakaian yang mencolak, yang mencerminkan kemewahan, misalnya dengan warna merah, atau memakai sandal atau sepatu, anda akan di kenakan sanksi adat ataupun tidak dibiarkan masuk ke kompleks adat.
Ciri khas lain, suku Kajang yang dapat dilihat adalah dari bentuk rumah yang unik. Bangunan rumah khas Sulawesi Selatan secara umum adalah rumah panggung. Tapi suku Kajang mempunyai ke unikan bentuk rumah panggung tersendiri yakni, dapurnya terletak di depan, menghadap jalan utama. Jadi, kalau anda memasuki salah satu rumah “tau Kajang”, yang pertama nampak adalah dapur. Ini melambangkan kesederhaan, dan mau menunjukkan apa adanya.
Melihat keadaan alam suku Kajang, masih sangat asli. Di dalam kompleks adat ada sebuah hutan, dimana masyarakat di larang mengambil kayunya, walau itu hanya untuk kayu bakar sekalipun, yaitu hutan “Karanjang”. Kalau ada yang melanggar, akan di kenakan sanksi adat. Hutan “Karanjang” sendiri adalah tempat untuk ber-haji-nya orang-orang Kajang (tau Kajang). Sehingga hutan “Karanjang” tidak lepas dari penjagaan adat dan penuh dengan bau mistic.
Suku unik, alami, sederhana, alam yang masih asri, hutan yang masih terjaga, dan lain-lain, menjadikan Kajang adalah salah satu pavorit wisata budaya. Salah satu yang membuat terhambatnya wisata kesana adalah, ketakutan orang luar memasuki Kajang. Karena mendengar orang Kajang sendiri orang akan takut akan “dotinya”, semacam sihir dan kekuatan ghaib yang bisa mematikan. Selain itu, “tau kajang” sendiri agak tertutup dengan orang-orang luar.
Orang-orang Eropa yang berwisata ke pasir putih, daerah wisata tanjung Bira, Bulukumba sekitar 30 km dari Kajang, biasanya tidak melewatkan suku Kajang sebagai salah satu favorite wisata budaya mereka. Apalagi jika orang Eropa itu adalah orang-orang Belanda, secara khusus mempunyai nama tersendiri di dalam “pappasang” suku Kajang. Di dalam “pappasang” hubungan antara orang-orang Kajang dan orang-orang Belanda ada hubungan “saudara”. Hubungan antara “tau Kajang” dengan Belanda sangat erat dalam ikatan darah dan budaya.
Mereka memegang tradisi nenek moyang yang disebut dengan “pappasang”, semacam hukum tidak tertulis yang tidak boleh dilanggar. Siapa yang melanggar akan kena “pangellai”, teguran atau hukuman. Salah satu bunyi hukum yang ada dalam “pappasang” adalah “Kajang, tana kamase-masea”, yang artinya tidak jauh dengan, “Kajang tanah yang sederhana/miskin”.
Dengan adanya “pappasang” ini, sehingga orang-orang yang berdiam dalam kompleks adat suku kajang, tidak mau menerima yang namanya kemegahan dunia. Siapa yang mau kaya, harus keluar dari kompleks adat, karena tanah Kajang sendiri tidak menyiapkan kekeyaan itu, karena sudah disebutkan dalam “pappasang”.
Kemegahan dunia yang dimaksud berdasarkan interpretasi “amma toa” (Kepala Adat Suku Kajang) dan orang-orang suku kajang adalah menolak paham dari luar ataupun program-promgam pemerintah yang dianggap dapat mengancam keberadaan mereka, atau akan melanggar ”pappasang, Kajang tana kamase-masea”. Di kompleks adat Kajang, jangan anda mencari tempat untuk cash HP kalau baterai HP anda lagi low bet, karena di situ tidak tersedia listrik. Ketidakadaan listrik di dalam kompleks adat, bukan karena tidak tersentuh oleh program pemerintah, tetapi “amma toa” sendiri yang menolak di pasang listrik, karena dianggap akan melanggar “pappasang”, karena listrik di anggap sebuah kemewahan. Padahal keberadaan listrik di Kajang Luar sudah ada sejak tahun 1980-an. Perlu di ketahui, Kajang di bagi dua secara geografis, yaitu kajang dalam (suku kajang, mereka di sebut “tau Kajang”) dan kajang luar (orang-orang yang berdiam di sekitar suku kajang yang relatif lebih modern, mereka di sebut “tau Lembang”).
Bukan hanya listrik yang dilarang masuk di suku Kajang, tetapi segala sesuatu yang dianggap melanggar “pappasang, Kajang, tana kamase-masea”. Contoh lainnya adalah pembangunan jalan raya, kendaraan, sekolah, bahkan cara berpakain sekalipun. Memasuki kompleks adat, anda akan dilarang untuk memakai pakaian yang mencolak, yang mencerminkan kemewahan, misalnya dengan warna merah, atau memakai sandal atau sepatu, anda akan di kenakan sanksi adat ataupun tidak dibiarkan masuk ke kompleks adat.
Ciri khas lain, suku Kajang yang dapat dilihat adalah dari bentuk rumah yang unik. Bangunan rumah khas Sulawesi Selatan secara umum adalah rumah panggung. Tapi suku Kajang mempunyai ke unikan bentuk rumah panggung tersendiri yakni, dapurnya terletak di depan, menghadap jalan utama. Jadi, kalau anda memasuki salah satu rumah “tau Kajang”, yang pertama nampak adalah dapur. Ini melambangkan kesederhaan, dan mau menunjukkan apa adanya.
Melihat keadaan alam suku Kajang, masih sangat asli. Di dalam kompleks adat ada sebuah hutan, dimana masyarakat di larang mengambil kayunya, walau itu hanya untuk kayu bakar sekalipun, yaitu hutan “Karanjang”. Kalau ada yang melanggar, akan di kenakan sanksi adat. Hutan “Karanjang” sendiri adalah tempat untuk ber-haji-nya orang-orang Kajang (tau Kajang). Sehingga hutan “Karanjang” tidak lepas dari penjagaan adat dan penuh dengan bau mistic.
Suku unik, alami, sederhana, alam yang masih asri, hutan yang masih terjaga, dan lain-lain, menjadikan Kajang adalah salah satu pavorit wisata budaya. Salah satu yang membuat terhambatnya wisata kesana adalah, ketakutan orang luar memasuki Kajang. Karena mendengar orang Kajang sendiri orang akan takut akan “dotinya”, semacam sihir dan kekuatan ghaib yang bisa mematikan. Selain itu, “tau kajang” sendiri agak tertutup dengan orang-orang luar.
Orang-orang Eropa yang berwisata ke pasir putih, daerah wisata tanjung Bira, Bulukumba sekitar 30 km dari Kajang, biasanya tidak melewatkan suku Kajang sebagai salah satu favorite wisata budaya mereka. Apalagi jika orang Eropa itu adalah orang-orang Belanda, secara khusus mempunyai nama tersendiri di dalam “pappasang” suku Kajang. Di dalam “pappasang” hubungan antara orang-orang Kajang dan orang-orang Belanda ada hubungan “saudara”. Hubungan antara “tau Kajang” dengan Belanda sangat erat dalam ikatan darah dan budaya.
Spoiler:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar