Rabu, 10 Oktober 2012

Jadi Perfeksionis itu Kadang Melelahkan.....

Tidak banyak orang-orang terdekat saya yang tau kalau saya ini tipe orang perfeksionis. Perfeksionis adalah sebutan untuk orang-orang yang “mengidap” perfeksionisme, yaitu suatu keyakinan bahwa seseorang harus terlihat sempurna menurut standar idealnya serta harus selalu mencapai kondisi terbaik pada aspek fisik dan non fisik. Orang perfeksionis cenderung tidak mudah puas terhadap sesuatu yang dikerjakannya. Itulah yang sering saya rasakan pada diri saya.
Untuk beberapa hal, saya terbilang  cukup perfeksionis. Contohnya dalam urusan membersihkan rumah. Membersihkan rumah bagi saya terangkum dalam “satu paket wajib” yang harus saya lakukan. Paket tersebut yakni : membereskan dan merapikan ruangan, mengelap debu, menyapu dan baru mengepel. Semua wajib dilakukan, tidak boleh ada yang tidak. Saya sering merasa tertekan kalo ngepel rumah tapi ruangannya belum dirapikan atau debu di lemari belum dibersihkan. Saya sering mencela kebiasaan adik saya yang tetap cuek mengepel walau kamar atau ruang tamu berantakan. Saya tidak bisa seperti itu. Maka setiap kali beres-beres, saya mewajibkan diri untuk melakukan satu paket tersebut, walaupun sebenarnya itu tidak harus selalu dilakukan karna beres-beresnya toh hampir tiap hari. Normalnya kan debu-debu di lemari juga ga perlu dibersihkan tiap hari. Tapi bagi saya, semua sudah satu paket tok. Kalo mau ngepel, ya harus benar-benar terlaksana dulu  tiga pekerjaan tadi. Selelah apapun dan sependek apapun waktu yang saya miliki akan saya usahakan untuk mengerjakannya, kecuali kalau memang saya benar-benar tidak punya kesempatan melakukan itu. 

Akhirnya, rangkaian “paket wajib” tadi membuat waktu untuk beres-beres rumah sampai memakan durasi satu setengah jam bahkan dua jam lebih. Hal inilah yang kemudian akan jadi bumerang bagi saya tatkala saya sibuk sehingga waktu untuk beres-beres hanya sebentar, atau saat badan saya letih sehingga tak kuat melakukan banyak pekerjaan.  Rasa stress saya pun terpicu.

Saya bisa saja hanya menyapu dan mengepel, tapi tetap dalam hati merasa risau dan tidak puas karna ada yang kurang dari rangkaian paket beres-beres rumah ala saya tadi. Tentunya ini terasa menyiksa sekali. Di satu sisi saya ingin segalanya sempurna, tapi di sisi lain saya tidak berdaya untuk membuat segalanya sempurna menurut standar saya.

Selain durasi beres-beres yang lama, saya juga tidak senang jika ada orang yang menginjak lantai yang sedang saya pel. Satu injakan saja bagi saya bisa merusak seluruh hasil kerja saya. Saya ingin semua hasil kerja saya harus tampak  “sempurna”.  Keluarga saya sudah mafhum dengan kebiasaan ini. Maka tidak ada yang berani menginjak lantai basah yang sedang  saya pel kecuali memang untuk urusan gawat seperti kebelet pipis atau lapar nyaris setengah pingsan. Kalau bukan untuk hal penting, mereka memilih untuk menunggu sampai lantai kering daripada melihat saya jamedud murukusunu alias pasang tampang manyun, huhu.

Masih tentang beres-beres rumah,  saya juga tidak begitu percaya pada adik saya untuk urusan yang satu ini. Saya merasa dia tidak bisa mengerjakannya dengan baik. Bukan saya sombong atau sudah ahli dalam beres beres rumah, tapi dalam pandangan saya, saya bisa melakukan semua dengan lebih rapi, teliti dan memuaskan ketimbang adik saya. Bahkan kadang saya sering mengepel ulang lantai yang sudah dipel adik saya karna merasa kurang puas. Entahlah, apakah saya adalah pribadi yang bertanggung jawab ? Ataukah sosok yang kelewat idealis dan egois? Hhaaa…saya tidak tau apa jawabnya.

Contoh keperfeksionisan saya lainnya adalah saat menulis catatan kuliah. Saya malas sekali kalau ada satu saja tulisan yang dicoret di catatan kuliah saya karna kesalahan menulis atau dosen yang keliru menerangkan. Dulu saya sering mengulang menulis catatan hanya karna ada satu kalimat yang salah dalam catatan saya padahal saat itu saya sudah menulis berlembar-lembar.  Masalahnya, seringkali dosen menerangkan dengan cepat sehingga otomatis saya harus menulis dengan terburu-buru sehingga kurang rapi dan kadang banyak salahnya. Menyiksa sekali bukan. Karna perasaan tersiksa itu, akhirnya saya memutuskan menulis berantakan sekalian, baru nanti disalin lagi ke buku lain yang tentu saja harus ditulis sehati-hati mungkin agar terlihat “sempurna” di mata saya.

Kejadian melelahkan juga terjadi beberapa waktu lalu saat saya dimintai tolong menulis buku administrasi dari kelas yang dipegang Ibu saya. Tulisan saya dianggap lebih rapi dari ibu sehingga lebih layak menulisi buku administrasi (padahal sebenarnya berantakan, seberantakan gigi saya, hehe). Setelah menulis buku administrasi penerimaan murid baru dan absensi kelas, saya merasa tulisan saya tidak rapi walau ibu saya berkali-kali bilang itu sudah cukup rapi. Saya tetap tidak puas dan menyesali beberapa kesalahan kecil dalam buku itu. Rasanya mengulang dari awal pun saya rela kalau saja buku administrasinya memiliki halaman lebih. Tapi sayangnya buku tersebut hanya dijatah sekian lembar untuk setiap tahunnya. Sehingga ujung-ujungnya saya jadi sedikit trauma melihat buku itu lagi karna saya menganggap di sana ada pekerjaan saya yang berantakan.

Sepintas, jadi orang perfeksionis itu bagus. Saya bisa melakukan sesuatu dengan penuh totalitas. Saya bisa menghasilkan banyak hal yang lebih teliti dan sempurna, walau tentu saja tidak ada yang sempurna di dunia ini dan kriteria sempurna bagi tiap orang pun berbeda. Sempurna yang saya maksud dalam hal ini adalah kondisi terbaik dari sesuatu. Tapi sisi buruknya,  jika saya sedang berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan saya untuk melakukan segala sesuatu sesuai harapan, saya jadi merasa stress sendiri. Saya tertekan saat berada dalam situasi yang “tidak sesuai standar” saya. Saya tertekan  saat saya tidak berdaya untuk membuat semuanya sempurna.  Belum lagi jika lingkungan sekitar adalah orang-orang yang tidak “sepaham” dengan saya.  Saya jadi terlihat seolah-olah egois, arogan dan sok idealis, padahal saya tidak bermaksud begitu. Saya hanya berpandangan bahwa setiap kali kita bekerja, hasilnya harus sebaik mungkin. Tapi hal itu kadang membuat saya jadi merasa lelah sendiri. Misalnya saat saya sedang merapikan rumah lalu kakak atau ponakan saya dengan santainya lenggang kakung sana sini dan membuat kerapian rumah jadi rusak, saya bisa frustasi dan ngambek. Mood beres-beres pun bisa sampe anjlok. Gara-gara sifat saya yang seperti itu, saya sering jadi bahan olok-olok dan dijuluki Miss Perfect, walau sebenarnya saya juga tidak seperfeksionis itu. Kadang saya juga bisa berantakan, ugal-ugalan. Apalagi jika mood kerja saya sedang turun, saya bisa juga mengabaikan keadaan rumah yang berantakan. Tapi memang saya akui, dibanding sifat awur-awuran tadi, sifat perfeksionis lah yang lebih mendominasi..

Awalnya sih saya juga ga sadar kalo saya orang yang perfeksionis. Saya baru ngeh beberapa minggu terakhir, puncaknya saat sodara-sodara saya menjuluki saya Miss Perfect. Saya pun mulai merenung dan menyadari bahwa selama ini saya memang agak  perfeksionis. Tapi saya ga tau apakah perfeksionisme itu adalah kepribadian saya atau suatu syndrome yang saya idap tanpa sadar. Saya pernah membaca suatu artikel tentang kepribadian dan perfeksionisme identik dengan kepribadian melankolis. Lalu saya mengkaitkan keperfeksionisan ini dengan kepribadian saya yang didominasi melankolis-plegmatis. Saya juga berusaha menelusuri ciri-ciri lain dari kepribadian melankolis seperti menyukai kerapian, menyukai perincian, idealis, menetapkan standar tinggi, tertib dan terorganisasi, cermat dan teratur. Sejumlah ciri-ciri tadi sama dengan karakter saya. Jadi sepertinya ada kemungkinan kalau keperfeksionisan ini adalah bawaan dari kepribadian melankolis saya. Entahlah, itu baru analisa asal-asalan saya.

Hhh….saya ga tau harus bersikap seperti apa dengan keperfeksionisan ini. Kadang merasa sangat menikmati karna ada hal- hal positif yang saya rasakan. Tapi kadang saya merasa lelah sendiri..sangat lelah dan jengkel. Sayangnya saya tidak bisa melawan suatu desakan dari dalam diri saya yang terus menuntut agar semua jadi perfect. Saya juga bingung harus bagaimana, darimana semua berasal dan mengapa saya begini. Mungkin untuk saat ini hanya menikmatinya saja, sebagai satu karakter yang dianugrahkan Allah untuk saya. Saya syukuri saja sisi positifnya, dan untuk sisi negatifnya saya tolerir sedikit demi sedikit. Yang penting saya tetap jadi diri saya sendiri…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer