Pada masa Dinasti ke-18 Fir’aun di Mesir
(sekitar 1.567SM-1.339SM), di pesisir barat pulau sumatera telah ada
pelabuhan yang ramai, dengan nama Barus. Pelabuhan ini berkembang dengan
baik, dikarenakan ada bangsa yang mengatur, serta menjaganya dari
serangan bajak laut atau negara lain. Penguasa Pelabuhan Barus, dikenal
dengan nama Bangsa Malai. Malai dalam bahasa Sanskrit atau Tamil,
berarti bukit (gunung). Seperti namanya, Bangsa Malai bermukim di
sekitar perbukitan (dataran tinggi).
Asal Muasal Bangsa Malai
Diperkirakan bangsa Malai, bermula dari 4
(empat) bangsa, yakni Arab-Cina-Eropa-Hindia, terkadang disingkat ACEH
(sampai sekarang istilah ACEH masih dinisbatkan kepada keturunan Bangsa
Malai yang tinggal di ujung utara pulau sumatera).
Bangsa yang pertama datang adalah Bangsa
Hindia Malaya (Himalaya). Bangsa Himalaya merupakan interaksi antara
Bangsa Hindia (keturunan Kusy keturunan Ham bin Nabi Nuh), dengan Bangsa
Malaya (keturunan Bangsa Malaya Purba/Atlantis/Sundaland [Penduduk Asli
Nusantara], yang selamat dari bencana banjir Nuh).
Pada awalnya mereka tinggal di kaki
gunung Himalaya, sekitar tahun 6.000SM mereka datang ke pulau sumatera.
Mereka menyusul kerabatnya bangsa Polinesia (keturunan Heth keturunan
Ham bin Nabi Nuh), yang telah terlebih dahulu datang, dan bertempat
tinggal di bagian timur Nusantara.
Pada sekitar tahun 4.500SM, datang
Bangsa Cina atau Bangsa Formosa (keturunan Shini keturunan Yafits bin
Nabi Nuh). Bangsa ini membawa budaya Agraris dari tempat asalnya.
Setelah itu sekitar tahun 2.500SM,
datang Bangsa Eropa atau Bangsa Troya/Romawi Purba (keturunan Rumi
keturunan Yafits bin Nabi Nuh), mereka membawa Peradaban Harappa, yang
dikenal sudah sangat maju.
Dan terakhir sekitar tahun 2.200SM
datang Bangsa Arab Purba atau Bangsa Khabiru (keturunan ‘Ad keturunan
Sam bin Nabi Nuh). Bangsa Khabiru adalah pengikut setia Nabi Hud, mereka
datang dengan membawa keyakinan Monotheisme, di dalam masyarakat pulau
sumatera.
Penyatuan ke-empat bangsa ini di kenal
dengan nama Bangsa Malai (Bangsa Aceh Purba/Melayu Proto), dengan mata
pencaharian utama sebagai nelayan dan petani.
Bangsa Malai sebagaimana leluhur
pertamanya Bangsa Himalaya, mendiami daerah dataran tinggi, yaitu di
sepanjang Bukit Barisan (dari Pegunungan Pusat Gayo di utara, sampai
daerah sekitar Gunung Dempo di selatan).
Bermula dari Bukit Barisan inilah,
Bangsa Malai menyebar ke pelosok Nusantara, seperti di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Semenanjung Malaya, Siam, Kambujiya, Sunda, Jawa,
Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.
Bangsa Malai Pelindung Nusantara
Menurut para sejarawan, Bangsa Mongoloid begitu mendominasi daerah di sebelah utara Nusantara.
Muncul pertanyaan, mengapa bangsa
Mongoloid tidak sampai meluaskan kekuasaan sampai ke selatan, bukankah
nusantara adalah daerah yang sangat layak untuk dikuasai? Daerahnya
subur, serta tersimpan beraneka bahan tambang seperti emas, timah dan
sebagainya.
Apa yang mereka takutkan?
Jawabnya hanya satu, karena Nusantara
ketika itu, dilindungi Bangsa Malai. Bangsa Malai dikenal memiliki
kekuatan maritim yang kuat, dan balatentaranya memiliki ilmu beladiri
yang mumpuni.
Siti Qanturah Leluhur Bani Jawi
Pada sekitar tahun 1670SM, dikhabarkan
Nabi Ibrahim (keturunan Syalikh keturunan Sam bin Nabi Nuh) telah sampai
berdakwah di negeri Bangsa Malai. Beliau diceritakan memperistri puteri
Bangsa Malai, yang bernama Siti Qanturah (Qatura/Keturah).
Dari pernikahan itu Nabi Ibrahim di
karuniai 6 anak, yang bernama : Zimran, Jokshan, Medan, Midian, Ishbak
dan Shuah. Dari anak keturunan Siti Qanturah kelak akan memunculkan
bangsa Media (Madyan), Khaldea dan Melayu Deutro (berdasarkan perkiraan,
Nabi Ibrahim hidup di masa Dinasti Hyksos berkuasa di Mesir Kuno
(1730SM-1580SM), sementara versi lain menyebutkan, Nabi Ibrahim menikah
dengan Siti Qanturah, pada sekitar tahun 2025SM).
Bangsa Melayu Deutro (Malai Muda), yang
saat ini mendiami kepulauan Nusantara, juga mendapat sebutan Bani Jawi.
Bani Jawi yang berasal dari kata Bani (Kaum/Kelompok) JiWi (Ji = satu ;
Wi = Widhi atau Tuhan). Jadi makna Bani Jawi (JiWi) adalah kaum yang
meyakini adanya satu Tuhan.
Keterangan mengenai Bani Jawi sebagai
keturunan Nabi Ibrahim, ditulis oleh sejarawan terkemuka Ibnu Athir
dalam bukunya yang terkenal ‘al-Kamil fi al-Tarikh’.
Catatan :
- Melayu Deutro adalah istilah yang digunakan para sejarawan modern, untuk meng-indentifikasikan Bani Jawi, dimana Ibnu Athir menerangkan bahwa Bani Jawi adalah keturunan Nabi Ibrahim.Keterangan Ibnu Athir ini semakin nyata, ketika baru-baru ini, dari penelitian seorang Profesor Universiti Kebangsaaan Malaysia (UKM), diperoleh data bahwa, di dalam darah DNA Melayu, terdapat 27% Variant Mediterranaen(merupakan DNA bangsa-bangsa EURO-Semitik).Variant Mediterranaen sendiri terdapat juga di dalam DNA keturunan Nabi Ibrahim yang lain, seperti pada bangsa Arab dan Bani Israil.
- Suku Jawa adalah suku terbesar dari Bani Jawi. Dan sejak dahulu, mereka menganut monotheisme, seperti keyakinan adanya Sang Hyang Widhi atau Sangkan Paraning Dumadi.Selain suku Jawa, pemahaman monotheisme juga terdapat di dalam masyarakat Sunda Kuno. Hal ini bisa kita jumpai pada Keyakinan Sunda Wiwitan. Mereka meyakini adanya ‘Allah Yang Maha Kuasa’, yang dilambangkan dengan ucapan bahasa ‘Nu Ngersakeun‘ atau disebut juga ‘Sang Hyang Keresa‘.
- Tulisan kami bukan sekedar cerita, legenda atau mitos, akan tetapi
juga didukung oleh fakta-fakta ilmiah. Mengenai keberadaan Kota Barus,
mari kita ikuti bacaan berikut…SEJARAH KOTA BARUSSebagai pelabuhan niaga samudera, Barus (Lobu Tua) diperkirakan sudah ada sejak 3000 tahun sebelum Masehi. Bahkan ada juga yang memperkirakan lebih jauh dari itu, sekitar 5000 tahun sebelum Nabi Isa lahir.
Perkiraan terakhir itu didasarkan pada temuan bahan pengawet dari
berbagai mummy Fir’aun Mesir kuno yang salah satu bahan pengawetnya
menggunakan kamper atau kapur barus. Getah kayu itu yang paling baik
kualitasnya kala itu hanya ditemukan di sekitar Barus.
Sejarawan di era kemerdekaan, Prof Muhammad Yamin memperkirakan perdagangan rempah-rempah diantara kamper sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.
Seorang pengembara Yunani, Claudius Ptolomeus menyebutkan bahwa selain pedagang Yunani, pedagang Venesia, India, Arab, dan juga Tiongkok lalu lalang ke Barus untuk mendapatkan rempah-rempah.
Lalu pada arsip tua India, Kathasaritsagara, sekitar tahun 600 M, mencatat perjalanan seorang Brahmana mencari anaknya hingga ke Barus. Brahmana itu mengunjungi Keladvipa (pulau kelapa diduga Sumatera) dengan rute Ketaha (Kedah-Malaysia), menyusuri pantai Barat hingga ke Karpuradvipa (Barus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar