Dinasti Sanjaya pemeluk Hindu dan dinasti
Syailendra pemeluk Buddha bergantian menguasai daerah selingkaran
gunung Merapi. Pada 775 Rakai Panangkaran jadi bawahan Syailendra
mendirikan candi Kalasan atas perintah sang atasan. Giliran pada 850
Rakai Pikatan raja dinasti Sanjaya mengambil alih seluruh wilayah
dinasti Syailendra pimpinan Balaputradewa. Yang disebut belakangan ini
memindahkan kekuasaannya dari pulau Jawa sekaligus mengambil alih
pimpinan kerajaan Sriwijaya di Sumatera.
Dinasti Sanjaya yang diibaratkan “ayam
jago” dan dinasti Syailendra sebagai “gemak putih” pada suatu kali
pernah bertempur satu sama lain di wilayah gunung Merapi, tentu
perseteruan kedua kerajaan ini sekaligus perseteruan antar umat beragama
yang menggegerkan sekaligus mengundang danghyang tanah Jawa waktu itu
Ismoyo turun tangan melerai pertikaian di atas. Jalan keluarnya ialah
mengadu secara terbuka gemak putih dan ayam jago dari masing-masing
kerajaan.
“Barangsiapa yang kalah dalam
pertandingan ini maka akibatnya kelak ditanggung oleh anak-cucu
sendiri,” kata Ismoyo. Pertandingan pun berlangsung terbuka disaksikan
para petinggi kedua kerajaan. Ayam jago dari wilayah Barat melawan gemak
putih dari Selatan dengan pasaran tinggi tentu berada di tangan si ayam
jago pilihan dan juara kerajaan. Gemak putih yang kecil dan tidak
mungkin menang melawan seekor ayam yang berukuran jauh lebih besar itu
tidak mendapat tempat dan tidak diunggulkan sama sekali.
Tidak diduga oleh siapapun yang keluar
sebagai pemenang adalah si gemak putih itu. Dan sejak itu pula Ismoyo
membikin jejak pada bibir kawah gunung Merapi di bagian Barat Daya
sebagai batas antara dua kerajaan dan tempat mengalir lahar panas, lahar
dingin, dan awan panas untuk sepanjang jaman. Sebelum ada perseteruan
tersebut sampai turunnya Ismoyo ke bumi arah daripada letusan Merapi
tidak ke Barat Daya melainkan mengarah ke segenap penjuru dan
menyuburkan seluruh wilayah. Berkah Merapi tetap dapat dinikmati oleh
seluruh penduduk sekeliling Merapi dengan aliran-aliran sungai yang
memutari wilayah Barat, Selatan, Timur dan Utara.
Ismoyo pun beberapa kali berganti wadag
kasarnya atau bereinkarnasi dan di masa akhir kerajaan Majapahit beliau
menyebut diri dengan nama baru Sabdo Palon. Sebagai pendamping Prabu
Brawijaya yang sudah meninggalkan agama leluhur kemudian memeluk Islam
maka pada 1478 Sabdo Palon bertitah di hadapan si momongannya.
Titah Sabdo Palon bukanlah sebuah ramalan
akan tetapi sebuah ucapan yang pasti terjadi kelak di masa depan antara
lain sebagai berikut, “Yang Mulia harap mengingat kelak 500 tahun
mendatang saya akan menyebarkan agama “kawruh budi” ke seluruh tanah
Jawa. Bila saya dihalangi oleh pihak-pihak tertentu selama saya
menyebarkan agama tersebut, maka akan saya hancurkan pihak tersebut
menjadi makanan lelembut dan lain-lainnya.
Saya belum merasa hati lega selama mereka
belum hancur-lebur. Sebagai tanda titah saya ini akan berlaku kelak
gunung Merapi meletus dibarengi memuntahkan lahar panas, lahar dingin,
dan awan panas yang mengalir ke arah Barat Daya yang berbau menyengat.
Saat itulah awal kehadiran saya dan memulai menyebarkan agama “kawruh
budi”. Menggelegarnya Merapi sudah menjadi takdir Sang Hyang Wenangin
Jagad. Siklus bintang ialah siklus pergantian yang tidak bisa diubah
lagi.”
“Kula damel pratandha,
Pratandha tembayan mami,
Hardi Merapi yen wus njeblug mili lahar,
Ngidul ngilen purugira,
Ngganda banger ingkang warih,
Nggih punika medal kula,
Wus nyebar agama budi” – Sabdo Palon
Pratandha tembayan mami,
Hardi Merapi yen wus njeblug mili lahar,
Ngidul ngilen purugira,
Ngganda banger ingkang warih,
Nggih punika medal kula,
Wus nyebar agama budi” – Sabdo Palon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar