“Tidak ada yang dibanggakan dengan gelar sarjana,” tiba-tiba kata itu meluncur dari mulutnya.
Kemudian suara dari seberang yang tak ia kenal membisikinya, “Kalau begitu, apa yang selama ini kau perbuat, apa yang selama ini kau capai, tidak lain dan tidak bukan, tujuanmu hanya satu: menyenang hati orangtuamu, iya?”
“Mungkin,” jawabnya bimbang, “barang kali iya, barang kali tidak. Aku tak tahu.”
“Lho kok begitu?” Suara dari seberang itu menuntut,“ bukannya gelar sarjana yang kau raih itu merupakan bukti keseriusanmu dalam menuntut ilmu?”
“Ah kau berbicara dan bertanya yang tidak-tidak. Kata siapa di kuliah aku menuntut ilmu. Kamu ngawur. Aku hanya menimba setetes ilmu, barang kali tak ada setetes, mungkin seper seribu dari tetesan itu. Itu pun dari seper seribu, aku hanya mendapatkan ilmu seper seribu dari seper seribunya. Dan dari seper seribu seper seribunya, aku hanya paham seper seribunya.”
“Seper seribu dari seper seribu seper seribunya!” Suara dari seberang itu diam dan kemudian berpikir sejenak, “berarti apa yang kau pahami itu hanya seper nano (10 pangkat -9)?”
“Iya. Barang kali bukan seper nano, tapi seper piko.”
“Ah kau merendah.”
“Terserah kamu.”
“Bukannya kamu sarjana comlaode?”
“Hmmm…. Comlaode itu kan hanyalah penilain yang dilihat dari satu sudut pandang fakultatif. Kalau mau konsisten mestinya yang namanya sarjana comlaode itu sarjana yang penelitiannya dilihat dari perspektif universitas.”
“Kalau begitu, bila mengikuti cara berpikirmu, yang namanya sarjana comlaude itu tidak ada, yang ada hanyalah sarjana-sarjana fakultatif, begitu?”
“Kok sarjana comlaode, apalagi sarjana fakultatif atau sarjana universitas, lah wong gelar sarjana itu sendiri patut dipertanyakan.”
“Dipertanyakan bagaimana?”
“Ya dipertanyakan. Kenapa hanya mahasiswa yang berhak mendapat gelar sarjana. Kalau memang syarat kelulusan hanyalah skripsi, tesis, atau disertasi, kenapa mereka para petani, nelayan, pedagang asongan, para pengrajin industri kreatif, pengamen dll, tidak digelari sarjana. Bukannya mereka juga mahasiswa-mahasiswa yang selalu senantiasi belajar, yang selalu melakukan eksperimen-eksperimen, dan juga selalu meneliti permasalahan dan kemudian menyimpulkan serta mengaplikasikan hasil temuannya itu. Penjual lontong misalnya, ia juga melakukan eksperimen sebagaimana mahasiswa. Kalau ia tak melakukan eksperimen, barang kali saat memasak, yang jadi bukan lontong tapi bubur atau nasi tem. Dengan segala cara dan metode masak, penjual lontong itu punya formula sendiri: berapa liter air yang digunakan untuk memasak nasi, berapa lama lontong ditanakkan, beras apa yang bagus untuk lontong, sampai masalah komposisi lontong. Itu bisa disekripsikan serta bisa dipertanggungjawabkan dalam sidang di hadapan para dosen. Dan luluslah sarjana lontong.”
“Hehehe…., kamu bisa-bisa aja.”
“Iya kan?”
“Kalau dipikir-pikir iya juga sih.”
“Justru mereka yang bangga dengan gelar kesarjanaannya dengan mengkultuskannya di belakang namanya perlu dipertanyakan. Bagaimana tidak, pada umumnya, dalam mengerjakan sekripsi, mereka hanya mengutip, memodifikasi dan tak jarang memanipulasi masalah, kemudian menyimpulkan tanpa bisa mengaplikasikan dalam dunia praksis.”
“Weh3x… Tambah bernas kau.”
“Bukan masalah bernas atau tidak, memang faktanya begitu.”
“Sebentar-sebentar,” suara dari seberang tiba-tiba curiga, “jangan-jangan kau waktu buat sekripsi juga seperti mereka?”
“Makanya saya bilang, tak ada yang dibanggakan dengan gelar sarjana.
Kemudian suara dari seberang yang tak ia kenal membisikinya, “Kalau begitu, apa yang selama ini kau perbuat, apa yang selama ini kau capai, tidak lain dan tidak bukan, tujuanmu hanya satu: menyenang hati orangtuamu, iya?”
“Mungkin,” jawabnya bimbang, “barang kali iya, barang kali tidak. Aku tak tahu.”
“Lho kok begitu?” Suara dari seberang itu menuntut,“ bukannya gelar sarjana yang kau raih itu merupakan bukti keseriusanmu dalam menuntut ilmu?”
“Ah kau berbicara dan bertanya yang tidak-tidak. Kata siapa di kuliah aku menuntut ilmu. Kamu ngawur. Aku hanya menimba setetes ilmu, barang kali tak ada setetes, mungkin seper seribu dari tetesan itu. Itu pun dari seper seribu, aku hanya mendapatkan ilmu seper seribu dari seper seribunya. Dan dari seper seribu seper seribunya, aku hanya paham seper seribunya.”
“Seper seribu dari seper seribu seper seribunya!” Suara dari seberang itu diam dan kemudian berpikir sejenak, “berarti apa yang kau pahami itu hanya seper nano (10 pangkat -9)?”
“Iya. Barang kali bukan seper nano, tapi seper piko.”
“Ah kau merendah.”
“Terserah kamu.”
“Bukannya kamu sarjana comlaode?”
“Hmmm…. Comlaode itu kan hanyalah penilain yang dilihat dari satu sudut pandang fakultatif. Kalau mau konsisten mestinya yang namanya sarjana comlaode itu sarjana yang penelitiannya dilihat dari perspektif universitas.”
“Kalau begitu, bila mengikuti cara berpikirmu, yang namanya sarjana comlaude itu tidak ada, yang ada hanyalah sarjana-sarjana fakultatif, begitu?”
“Kok sarjana comlaode, apalagi sarjana fakultatif atau sarjana universitas, lah wong gelar sarjana itu sendiri patut dipertanyakan.”
“Dipertanyakan bagaimana?”
“Ya dipertanyakan. Kenapa hanya mahasiswa yang berhak mendapat gelar sarjana. Kalau memang syarat kelulusan hanyalah skripsi, tesis, atau disertasi, kenapa mereka para petani, nelayan, pedagang asongan, para pengrajin industri kreatif, pengamen dll, tidak digelari sarjana. Bukannya mereka juga mahasiswa-mahasiswa yang selalu senantiasi belajar, yang selalu melakukan eksperimen-eksperimen, dan juga selalu meneliti permasalahan dan kemudian menyimpulkan serta mengaplikasikan hasil temuannya itu. Penjual lontong misalnya, ia juga melakukan eksperimen sebagaimana mahasiswa. Kalau ia tak melakukan eksperimen, barang kali saat memasak, yang jadi bukan lontong tapi bubur atau nasi tem. Dengan segala cara dan metode masak, penjual lontong itu punya formula sendiri: berapa liter air yang digunakan untuk memasak nasi, berapa lama lontong ditanakkan, beras apa yang bagus untuk lontong, sampai masalah komposisi lontong. Itu bisa disekripsikan serta bisa dipertanggungjawabkan dalam sidang di hadapan para dosen. Dan luluslah sarjana lontong.”
“Hehehe…., kamu bisa-bisa aja.”
“Iya kan?”
“Kalau dipikir-pikir iya juga sih.”
“Justru mereka yang bangga dengan gelar kesarjanaannya dengan mengkultuskannya di belakang namanya perlu dipertanyakan. Bagaimana tidak, pada umumnya, dalam mengerjakan sekripsi, mereka hanya mengutip, memodifikasi dan tak jarang memanipulasi masalah, kemudian menyimpulkan tanpa bisa mengaplikasikan dalam dunia praksis.”
“Weh3x… Tambah bernas kau.”
“Bukan masalah bernas atau tidak, memang faktanya begitu.”
“Sebentar-sebentar,” suara dari seberang tiba-tiba curiga, “jangan-jangan kau waktu buat sekripsi juga seperti mereka?”
“Makanya saya bilang, tak ada yang dibanggakan dengan gelar sarjana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar