Denys Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya,
Jilid 2), mengidentifikasikannya sebagai orang-orang laut, sedangkan
Dick-Read merujuk ke sumber yang lebih spesifik: orang-orang Bajo atau
Bajau. Mereka ini semula berdiam di kawasan Selat Melaka, terutama di
sekitar Johor saat ini, sebelum akhirnya menyebar ke berbagai penjuru
Nusantara, dan pada sekitar abad XIV sebagian besar bermukim di wilayah
timur Indonesia.
Peran yang dimainkan para pelaut
Indonesia pada masa silam tersebut terus berlanjut hingga kedatangan
orang-orang Eropa di Nusantara. Para penjelajah laut dan pengelana
samudra inilah yang membentuk apa yang disebut Adrian B Lapian, ahli
sejarah maritim pertama Indonesia, sebagai jaringan hubungan masyarakat
bahari di Tanah Air.
Anthony Reid (Sejarah Modern Awal Asia
Tenggara, 2004) menyebut kelompok masyarakat berbahasa Austronesia ini
sebagai perintis yang merajut kepulauan di Asia Tenggara ke dalam sistem
perdagangan global.
Akan tetapi, pada abad XVIII masyarakat
Nusantara dengan budaya maritimnya yang kental itu mengalami kemunduran.
Monopoli perdagangan dan pelayaran yang diberlakukan pemerintahan
kolonial Belanda, walau tidak mematikan, sangat membatasi ruang gerak
kapal-kapal pelaut Indonesia.
Ironisnya, setelah 68 tahun Indonesia
merdeka, setelah PBB mengakui Deklarasi Djoeanda (1957) bahwa Indonesia
adalah negara kepulauan, tradisi besar itu masih saja dilupakan.
Kini, kemiskinan dan keterbelakangan
masyarakat nelayan dijumpai di banyak tempat, sementara di sisi lain,
kekayaan laut kita terus dikuras entah oleh siapa…
Sebagai penduduk Indonesia sudah
sepatutnya kita berbangga diri. Pasalnya, nenek moyang bangsa Indonesia
ternyata adalah orang yang gemar berpetualang menjelajahi penjuru Bumi
dengan menyeberangi samudra hingga mampu menyebarkan berbagai
peninggalan yang masih dapat dijumpai hingga kini di berbagai tempat
dataran benua Afrika.
Hal itu menjadi bukti bahwa jauh sebelum
bangsa Eropa membanggakan diri karena mengklaim bahwa pelayarannya
adalah yang terhebat di dunia karena berhasil melakukan perjalanan
keliling samudra pada abad XVI, ternyata nenek moyang bangsa Indonesia
sudah terlebih dahulu melakukannya. Bahkan penjelajahan penduduk
Indonesia dibarengi dengan fasilitas perahu dengan teknologi modern dan
sarana pendukung yang serba canggih pada masa itu, hingga membuat
perjalanan menyusuri ’dunia baru’ bukanlah sesuatu hal yang sulit
dilakukan.
Sehingga dapat dikatakan jika pelayaran
itu sangat heroik dan jauh di luar batas kemampuan berlayar bangsa mana
pun di dunia pada era tersebut. Padahal itu dilakukan pelaut Nusantara
seribu tahun lebih sebelum petualangan Columbus di era modern.
Penjelajahan Bahari akan mengajak pembaca
untuk sejenak menikmati romantisme kejayaan bangsa Indonesia kuno. Buku
ini merupakan karya ilmiah hasil penelitian Robert Dick-Read, seorang
Afrikanis dari London University yang disusun berdasarkan sumber data
melimpah dan dapat dipertanggungjawabkan, yang merupakan hasil dari
penelitian seni dan budaya di banyak daerah yang ada peninggalan sejarah
dari Nusantara. Karir dan reputasi penulis dipertaruhkan dalam isi buku
ini, karena hasil intrepertasinya bisa mengundang berbagai pertanyaan
dan kecaman dari ahli sejarah yang berbeda pandangan dengannya.
Dari berbagai sumber yang telah diteliti,
penjelajah laut dari Nusantara menginjakkan kakinya pertama kali di
benua Afrika melalui Madagaskar. Kedigdayaan pelaut Nusantara yang
tercatat pertama kali dalam sejarah adalah masa ketika kerajaan
Sriwijaya, yang ibu kotanya di Palembang, tepatnya di tepi sungai Musi,
berhasil membangun angkatan laut kerajaan terkuat, besar dan tangguh,
yang belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia.
Memang sejarah modern mencatat bahwa
pelayaran keliling lautan luas pertama kali dilakukan oleh armada Cheng
Ho dari negeri Cina dan pelaut Eropa di zaman Columbus. Padahal fakta
itu tidak sepenuhnya benar. Meskipun tidak ada catatan otentik yang
tersisa, namun dapat disebut bahwa pelaut Nusantara yang dipelopori
armada laut Sriwijaya sudah terlebih dahulu berhasil mengarungi samudra.
Menurut Robert Dick-Read, bukti mutakhir
bahwa para pelaut Nusantara telah menaklukkan samudra jauh sebelum
bangsa Eropa, Arab, Cina, dan India memulai zaman penjelajahan bahari
masih bisa ditelusuri buktinya. Karena sejak abad ke-5 masehi, para
pelaut Nusantara sudah mampu menyeberangi Samudra Hindia hingga mencapai
benua Afrika dan masih meninggalkan jejak nyata hingga sekarang.
Sebuah inskripsi kuno pada abad VII
masehi yang ditemukan di Palembang menyebutkan bahwa kerajaan Sriwijaya
adalah kelompok pertama pelaut Nusantara yang berhasil menyebarkan
armadanya hingga daratan Afrika. Pasalnya, pada zaman keemasan
Sriwijaya, saat itu penguasa kerajaan membutuhkan emas dalam jumlah
besar dan mereka mendatangkan pasokan emas itu dari pertambangan emas
kuno yang ada di Zimbabwe. Ditambah bukti adanya banyak penduduk
Madagaskar pada masa lalu yang melakukan hubungan dengan penghuni
Sumatra Selatan semakin menguatkan asumsi bahwa angkatan laut kerajaan
Sriwijaya telah berhasil menduduki tanah yang ditemukannya itu.
Para petualang Nusantara ini tidak
sekedar hanya singgah di dataran Afrika, melainkan juga menetap dan
meninggalkan banyak kebudayaan di seluruh dataran yang berhasil
disinggahinya. Banyaknya jejak pelaut Nusantara tersebut meninggalkan
kebudayaan diantaranya dengan ditemukannya teknologi, tanaman baru,
musik, dan seni yang pengaruhnya masih bisa dijumpai dalam kehidupan
masyarakat Afrika sekarang.
Misalnya dalam kehidupan masyarakat Zanj
yang menghuni daerah Madagaskar bagian utara, mereka menangkap buruan
dengan menggunakan keranjang yang sebenarnya mirip dengan teknik
menangkap ikan di semenanjung Malaya dan Indonesia. Tidak banyak yang
diketahui untuk mengungkap asal usul ras tersebut, namun ada satu
petunjuk yang akan menggiring kita untuk menemukan jawabannya, yaitu
Zanj adalah ras keturunan Afro-Indonesia yang menetap di Afrika Timur.
Bahkan, tanaman ubi jalar, pisang raja,
dan beragam jenis pisang yang hidup di daratan Afrika Timur juga
merupakan tanaman yang dibawa oleh penjelajah Indonesia yang melakukan
perjalanan ke Madagaskar. Dan pada waktu yang sama tanaman itu menyebar
sampai Afrika Barat karena dibawa melalui perjalanan darat melalui
Somalia, Ethiopia Selatan, dan Sudan (hal. 237).
Fakta di atas juga digunakan Alexander
Adelaar (pakar lainnya) ketika mempelajari asal-usul bahasa Madagaskar.
Dari hasil analisisnya, dia bahkan berani membeberkan hipotesis bahwa
bahasa penduduk Madagskar (Malagasi) dan Melayu sangat mirip. Tidak
hanya itu, kekuatan unsur genetik dan budaya Afrika di Madagaskar yang
sangat besar, serta banyaknya jumlah kata dalam perbendaharaan kata
masyarakat Afrika semakin memperkuat asumsi bahwa pulau tersebut dulu
dihuni bangsa Afro-Indonesia, yang merupakan cikal bakal penduduk
Nusantara.
Dalam buku ini, pembaca akan menemukan
berbagai hipotesis mengejutkan yang mungkin selama ini belum pernah
terpikirkan sebelumnya. Karena tidak ada literatur yang dengan secara
gamblang menulis bukti bahwa antara abad ke-5 dan ke-7, kapal Nusantara
telah berhasil mendominasi pelayaran dagang di kawasan Asia hingga mampu
menjelajah jauh sampai ujung Afrika.
Bahkan jika selama ini masyarakat banyak
percaya bahwa peradaban bangsa Cina menjadi pusat peradaban dunia tempo
dulu, fakta itu termentahkan setelah membaca buku ini. Meskipun tak
dimungkiri jika peranan Cina juga cukup besar di Asia, namun pada abad V
sampai VII masehi perdagangan bangsa Cina banyak tergantung pada jasa
dan suplai produk para pelaut Nusantara, bukan sebaliknya seperti yang
selama ini tertulis diberbagai literatur.
Buku ini menyajikan beragam data sejarah
yang selama ini belum banyak diketahui masyarakat luas, bahkan kalangan
sejarawan. Sehingga pembaca berpotensi akan banyak mengalami perubahan
paradigma berpikir setelah membaca secara detail rangkaian fakta
kehebatan peradaban Nusantara pada masa kuno yang pelayarannya mampu
menyeberangi samudra hingga menemukan benua Afrika.
Judul Buku : Penjelajahan Bahari (Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika)
Penulis : Robert Dick-Read
Edisi : Juni 2008
Tebal : 378 halaman
Penerbit : PT Mizan Pustaka
Peresensi : Erik Purnama Putra, Mahasiswa Psikologi UMM dan Aktivis Pers Koran Kampus Bestari
Penulis : Robert Dick-Read
Edisi : Juni 2008
Tebal : 378 halaman
Penerbit : PT Mizan Pustaka
Peresensi : Erik Purnama Putra, Mahasiswa Psikologi UMM dan Aktivis Pers Koran Kampus Bestari
Sumber (Harian Bhirawa)
Bukti-Bukti Mutakhir Tentang Kehebatan
Pelaut Nenek Moyang Indonesia jauh Sebelum Cheng Ho dan Columbus [Jejak
Warisan Pelaut Nusantara di Afrika]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar