Mungkin Ilyas Karim satu-satunya orang yang masih hidup dalam peristiwa bersejarah ini. Setiap kali kemerdekaan negara ini dirayakan, Ilyas kembali teringat peristiwa bersejarah di Jl. Pegangsaan Timur No.56, Jakarta Pusat itu. Meski umur sudah 84 tahun, Ilyas masih terlihat tegap. Kedua matanya harus diplester agar tak terpejam. Ini akibat penyakit stroke yang menyerangkan beberapa tahun lalu. Ilyas masih sangat lancer menceritakan peristiwa yang tak pernah dia lupakan seumur hidupnya itu.
Pada hari yang bersejarah itu, Ilyas tiba-tiba ditarik lengan kriinya oleh Sudanco (komandan peleton) Latief Hendraningrat, petugas protokoler istana, dan diminta untuk berdiri tak jauh dari tiang bendera. “Dik, kamu nanti jadi pengibar bendera. Hati-hati ya, nanti memegangnya, jangan sampai sobek, (bendera) ini cuma dijahit dengan tangan oleh Bu Fatmawati,” tiru Ilyas pesan Latief waktu itu. Tak ada latihan, tak ada gladi resik. Prosesi proklamasi kemerdekaan langsung dimulai, tak lama setelah dia ditunjuk.
Seperti tampak pada foto yang dijumpai dalam buku-buku sejarah perjuangan, ada dua pengibar bendera saat hari proklamasi itu. Selain Ilyas, pengibar bendera lainnya adalah Sudanco Singgih. Keduanya dikelilingi Soekarno, M. Hatta, Fatmawati, dan Rahmi Hatta. Di antara enam orang itu, hanya Ilyas yang masih hidup. Meski memiliki peran nyata saat proklamasi kemerdekaan, kehidupan Ilyas saat ini bisa dikatakan memprihatinkan. Dia kini tinggal di rumah yang terletak di perkampungan padat di pinggiran jalur rel kereta api di Kalibata, Jakarta Selatan. Tepatnya, di Jalan Rawajati Barat, sekitar 100 meter dari Stasiun Kalibata.
Di rumah bercat biru yang sudah kusam, Ilyas menghabiskan sisa hidupnya bersama istri. Bangunan sederhana yang kulit temboknya sudah banyak mengelupas itu berukuran sekitar 10x7 meter. Dia lantas menceritakan kepindahan keluarga dari tempat tinggal di Asrama Siliwangi, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat tahun 1982. “Kami diusir saat itu, bukan digusur sebab memang tidak ada uang pengganti sama sekali yang kami terima,” tegasnya. Saat itu konsentrasi keluarga terpecah karena Ilyas dirawat di RSPAD Gatot Soebroto, karena terkena penyakit jantung. “Tidak ada yang berani melawan karena kondisi politik dan keamanan saat itu tidak seperti sekarang,” imbuh bapak 14 anak ini.
Anak-anaknya sekarang memang telah memiliki rumah sendiri-sendiri dan tersebar di berbagai daerah seperti Medan, Padang, Pekanbaru, dan Semarang, bahkan ada yang menikah dengan orang Jerman dan tinggal di sana. “Hampir semua mengajak tinggal bersama, tapi saya yang tidak mau,” ujar kakek 28 cucu tersebut. Menurutnya, kalau ikut anak-anaknya dirinya akan terbatas dalam melakoni aktivitas kemasyarakatan yang masih dijalani sampai sekarang. “Saya ini pejuang dan ingin tetap berjuang sampai saya mati nanti,” tandasnya.
Meski dia diusir oleh pemerintah dari rumah tinggalnya, Ilyas tetap semangat melayani negaranya. Kecintaannya terhadap bangsa Indonesia patut diacungi jempol dan dijadikan contoh buat warga Indonesia dimanapun kita berada. Kita mencintai bangsa ini bukan karena kita mengharapkan cinta kembali atau karena kita sudah dicintai terlebih dahulu, tapi cintailah karena memang karena cinta itu yang membuat kita melekat hatinya kepada bangsa ini. Merdeka!
Sumber : kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar